Jadi postingan ini masih berlanjut ya gaes karena kayaknya keresahanku masih belum tuntas. It’s okay to not be okay barangkali erat kaitannya sama validasi oranglain. Kalau kita tidak membutuhkan validasi oranglain, kita lebih gampang buat happy, enggak peduli apa kata orang, enggak membanding-bandingkan, ngalir aja gitu apapun yang terjadi. Karena sebenarnya enggak ada yang bakal peduliin kita sampai seakar-akarnya, mau kita jungkir balik ngupayain sesuatu nggak ada yang peduli. Yang mereka lakukan adalah menekan kita dan menanyakan kita kapan begini-begini. Mereka menekan kita agar seperti yang seharusnya mereka mau , kalian pasti pernah ngalamin lah ditanyain bahkan dinyiyirin tetangga atau siapa gitu “Eh kamu udah lulus Sarjana Manajemen tapi lah kok kerjanya jadi Resepsionis?” atau “Eh kamu cakep pinter berpendidikan tinggi lah ngapain mau sama si Karjo yang cuma lulusan SMA?”. Hal-hal seperti itu sebenernya enggak perlu dipikirin atau dimasukan ke dalam hati kalau memang kita BISA BANGET ENGGAK BAPER, LOGIS atau SADAR kalau nggak papa buat nggak sesuai dengan yang mereka mau. Justru kita yang punya kendali besar buat hidup kita sendiri. Terkadang kita feeling guilty atau ngerasa bersalah ketika enggak bisa kontrol reaksi kita terhadap apa yang tidak bisa kita kendalikan seperti tekanan dari oranglain. Proyeksi kesalahan berasal dari rendahnya dalam menghargai diri sendiri makanya di post sebelumnya aku tulis coba kontak teman-teman terdekat kamu buat nanyain apa keberuntungan yang kamu miliki supaya bisa membangkitkan self esteem kita. Kita juga nggak bisa kendalikan kemauan oranglain atas diri kita, yaudah kalau memang tidak sesuai atau tidak patut didengarkan yaudah biarkan saja. Yang paling penting adalah how we do. Sekeras apapun oranglain menyatakan ketidakmampuan kita terhadap keinginannya, kalau kitanya enggak merasa itu benar ya nggak papa. Nggak apa-apa buat merasa insecure, nggak apa-apa buat merasa terlambat, nggak apa-apa buat merasa kekurangan. Nggak ada salahnya menyadari kekurangan kita saat ini, mindful, hidup bukan perlombaan yang paling cepat/ paling kaya akan jadi paling merdeka lahir dan batin. Enggak begitu juga kan? Moga aja keresahannya sampai sini saja atau bisa jadi akan ada part 3-nya. Sekali lagi, it’s okay to not be okay. Tapi tetap tidak berhenti berupaya apapun hasilnya.
0 Comments
Buat kamu yang jobless karena dampak pandemi, moga postingan ini cocok sama kamu. 😊
Kurang 25 hari lagi kita akan berganti tahun sedangkan COVID-19 masih belum sirna. Tahun 2020 pun memberikan kesan yang begitu mendalam. Dari kehilangan anggota kerabat/teman yang terkena virus, kehilangan pekerjaan karena harus di-PHK, usaha sepi dan lain-lain. Kehilangan pekerjaan menjadi fokus utama dalam postinganku kali ini. Sudah lebih dari 8 bulan semenjak virus ini masuk ke Indonesia banyak sekali teman-teman yang terkena PHK dari tempat kerjanya, atau ada yang cuma mengalami pengurangan jam kerja demi menekan pengeluaran Perusahaan. Tapi juga ada yang masih kerja dan beruntungnya meski adanya pandemi tidak mempengaruhi pendapatan mereka atau setidaknya keuangan masih dapat dikendalikan. Pada dasarnya mencari kerja itu sulit kecuali ada orang dalam yang bersedia membantu. Nah saat pandemi seperti ini lebih sulit lagi. Jangankan memilih yang sesuai passion, diterima kerja dengan gaji seadanya udah sangat beruntung. Meskipun ratusan lowongan di platform pencari kerja online atau di media sosial lainnya masih tersedia namun kesaringnya agak susah karena banyaknya pesaing. Jadi kalau kamu mau dapat panggilan interviu harus rajin banget apply kerja baik online maupun offline. Jangan mengharapkan kebejoan akan selalu datang (kayak apply 1-2 lowongan udah itu aja nanti bakal kepanggil), tetep aja apply sebanyak-banyaknya. Nah, balik ke judul utama. It’s Okay to not be Okay yang artinya nggak apa-apa kalau nggak apa-apa alias nggak oke. Ini kasusnya kita pengangguran nih kurang lebih 5 bulan semenjak di-PHK. Kita udah apply dan menjalani serangkaian interviu tapi enggak ada yang sesuai. Atau bahkan sama sekali nggak ada panggilan kerja. Sedangkan duit kalian udah nipis kayak jeruk pasti kalian akan mulai “mempertanyakan kualitas diri”. Perlahan buka sosial media melihat teman-teman nampak asyik bercanda dengan teman kerjanya, atau teman kalian yang buka usaha baru, atau teman kalian yang terlihat bahagia travelling ke sana ke mari. Sudah menganggur, penghasilan enggak ada lihat begituan (media sosial tadi ya). Pasti kalian bakal mempertanyakan kualitas diri kalian dan merasa useless. Bawaannya murung, enggak selera makan atau buka mata di pagi hari rasanya males banget. Kayak pertanyaan “kenapa gua hidup di dunia ini?, “sebenernya kenapa gue enggak keterima kerja?”, “kenapa hidup gue harus berbeda?”, “kenapa gue harus di-PHK?” dan pertanyaan serupa lainnya. Belum lagi ada pertanyaan bertubi-tubi dari orang-orang yang menanyakan “Kerja di mana lu?”, “Sarjana kok nganggur?”, “Udah nikah aja sana!” wkwk. Rasanya campur-campur, antara lucu dan gimana ya? Mau marah itu ya kok lucu aja. Di sini mental kita benar-benar diuji. Hal-hal tersebut bikin pusing dan cemas bahkan khawatir berlebihan. Gimana kalau sampai nanti aku begini-begini aja enggak dapat kerjaan, mau bayar kos-an pakai apa, mau bayar ini pakai apa blablabla… Saran dariku untuk membereskan pikiran kacau tersebut adalah dengan latihan mindful. Tapi yang pertama mesti punya niat yang serius buat menenangkan diri. Yang namanya membereskan itu menata kembali sesuatu ke tempat semula, sebisa mungkin jangan sampai berceceran. Dengan Latihan mindful, kita bisa tahu secara jelas melihat masalahnya. Enggak dapat pekerjaan saat pandemi sebetulnya enggak 100% salah pandeminya, mungkin saja kita yang terlalu pilih-pilih pekerjaan, enggak cocok sama gajinya, atau emang kurang berusaha. Jangan menaruh pikiran bahwa kita enggak berharga karena tidak diterima di suatu Perusahaan. Barangkali kualifikasi yang dibutuhkan tidak sesuai dengan karakter kita. Solusinya ya cari lagi. Jadi aku bikin listnya untuk latihan mindful :
Coba untuk perbaiki ibadahnya, perbanyak sedekah dan berdoa kepada Tuhan. Insya Allah akan diberi petunjuk. Katakanlah pada dirimu bahwa it’s okay to not be okay. Enggak papa, gwenchanaeyo.. tetap berusaha, tetap tenang dan mensyukuri apa yang kita punya. All is well~ Dilansir dari halaman tirto.id, istilah toxic relationship merujuk pada sebuah hubungan yang ditandai dengan perilaku-perilaku ‘beracun’ yang merusak fisik maupun emosional diri sendiri maupun pasangan. Jika dalam hubungan yang sehat didominasi oleh kasih sayang, rasa saling menghormati dan penerimaan, maka toxic relationship adalah kebalikannya.
Hubungan dalam toxic relationship didominasi oleh perasaan insecure, egois dan keinginan untuk memegang kendali secara berlebihan. Sehingga yang tercipta dari hubungan tersebut adalah kekacauan dan jauh dari kata tentram. Berikut empat tanda bahwa kamu berada di toxic relationship : 1. Mengontrol masalah Jika terjadi masalah, pasanganmu menjadi kaku dan segalanya harus sesuai dengan keinginannya atau standar yang dia buat. Kamu dipaksa setuju dengan itu meski kamu nggak setuju dengan pendapatnya demi menghindari pertikaian. Hal ini bisa buat kamu pusing 7 keliling jika terjadi berulang kali dan kamu cuma bisa manut aja. 2.Sulit mengutarakan pendapat Kamu kesulitan menyampaikan pendapatmu karena ia akan marah jika kamu tidak mematuhi keputusannya yang bahkan konyol sekalipun. Di sini ia merasa bahwa dia paling penting (egois) karena keberadaannya sebagai pengendali segala keputusan. Sehingga apapun yang kamu sarankan tidak bisa diterima. 3. Perasaan gelisah Kamu mulai gelisah karena bertahan di toxic relationship memang tidak menyenangkan. Kamu merasa keberadaanmu seolah enggak penting karena pendapatmu tidak didengar. Apakah kamu akan bertahan lama jika berada di kondisi ini dengan alasan terlanjur cinta? (bagi yg berpacaran ya) 4. Menyangkal Bisa saja karena sudah berpacaran bertahun-tahun, kamu menyangkal bahwa hubungan ini baik-baik saja. Padahal kamu hanya salah mengira. Bukankah mengakhiri lebih baik daripada menderita nanti-nanti? Tetapi ini hak kalian juga buat memutuskan apa yang terbaik bagi hidup kalian sendiri. Karena menurutku, tidak enak lho bertahan lama dalam toxic relationship di saat kalian sudah menyadarinya. Saya memiliki teman yang juga berada di hubungan itu. Ia berpacaran lama sekali dan salah satunya memutuskan berpisah karena suatu hal yang berindikasi toxic relationship. Ia menghargai keputusannya untuk mengakhiri hubungan itu karena sadar bahwa ia telah menghargai dirinya sendiri untuk tidak meneruskan hidup bersama orang yang tidak baik. Berada di toxic relationship bukanlah suatu hal yang kita inginkan, namun jika terlanjur berada di dalamnya, maka pikirkanlah baik-baik untuk tetap terus atau mengakhirinya. Semua pilihan berada di tangan kalian. Sesungguhnya setiap orang mendambakan hubungan yang sederhana dan sehat. Tidak ada satu orang pun di dunia ini yang ingin kehidupan pribadinya dijadikan konsumsi bersama. Setiap orang juga punya hak untuk terlepas dari pantauan oranglain. Itu mengapa kita harus menghargai privasi oranglain karena kita juga tidak suka kan dipantau bahkan dikepoin sampai akar-akarnya sama oranglain?
Perlu kita tahu bahwa setiap orang memiliki karakter yang berbeda-beda. Jika seseorang yang ditanyai adalah orang yang mudah tersinggung, maka Anda bisa saja mendapatkan jawaban yang tidak Anda inginkan. Memiliki rasa keingintahuan yang tinggi itu tidak salah jika berkaitan dengan hal-hal yang positif seperti penasaran akan sebuah penelitian, atau keberhasilan sebuah penyelidikan kasus misalnya dan hal lain yang tidak menyangkut privasi seseorang. Jangan sampai rasa keingintahuan yang berlebihan alias too much kepo bisa menjadikan kamu seorang yang terlalu ikut campur. Saya juga tidak respect sama orang semacam ini karena ia terlalu memfokuskan diri untuk ikut campur urusan oranglain dan melupakan kepentingannya sendiri. Sudah terbukti wkwkw. Bertanya kabar teman yang sudah lama tidak ketemu, boleh aja kok menanyakan seputar keluarga seperti “hei, gimana kabar keluaga? Baik-baik kan?”, “gimana kabar si Angel adikmu? Apa masih suka kuliner tiap hari hehe..”, dll. Kontrol diri untuk tidak menanyakan hal-hal yang terlalu dalam seperti “hei, kamu sekarang kerja di mana? Bagian apa? Kira-kira gajinya UMR nggak?”, “eh gimana kamu sama pacarmu? Kapan mau dilamar? Kan udah enam tahun pacaran, kok cuma diam-diam sampe sekarang.” dll. Tapi kan nggak semuanya pas ditanyai seputar itu bikin tersinggung Kak? Belum tentu. Tersinggung tidak tersinggung, apa yang terjadi di dalam hati orang kita kan nggak tahu. Saranku sih lebih baik menghindari pertanyaan seperti itu. Menurutku itu bisa jadi toxic. Nggak sehat. Ketika seseorang memutuskan sesuatu yang kiranya nggak pas sama standar kita, kita harusnya belajar bijaksana. Nggak bisa dong semua hal distandarkan dengan keyakinan/kemauan kita? Kita wajib menghargai keputusan yang mereka buat. Saya rasa orang-orang yang memiliki kebijaksanaan seperti ini paling pas buat dijadikan teman curhat karena mereka tidak langsung memberi judgement terhadap masalah kita tapi memberi advice yang tidak memaksa. Selain oranglain, diri sendiri juga punya privasi buat dijaga dong. Pencapaian kita selama ini memang kadang bikin kita bangga luar biasa tapi hal tersebut nggak seharusnya diumbar, kesannya emang butuh pengakuan. Cukup diri sendiri dan keluarga yang tahu. Juga melakukan kebaikan, ada baiknya memang dirahasiakan nggak perlu oranglain sampai tahu karena rasanya sangat plong jika kita melakukan kebaikan yang benar-benar tulus tanpa diketahui oranglain. Hal-hal tersebut membuat kita belajar buat rendah hati. Nggak mau juga kan materi yang kamu punya sampai bisa diukur orang? Maka dari itu buatlah batasan tentang hal yang bisa dishare dan yang tidak perlu dipublikasikan. Pun juga dengan kejadian-kejadian yang tidak mengenakkan, enggak perlu lah dicerita-ceritain juga karena toh udah berlalu cukup dijadikan pembelajaran. Kalian tahu nggak original Soudtrack film The Greatest Show Man yang berjudul Never enough yang dinyanyikan oleh Jenny Lind saat adegan nyanyi di panggung? Dan apa keterkaitannya dengan judul artikel ini? Adalah pas bagian reff "Never enough... never..never.." rasanya cocok banget buat menggambarkan isi dari artikel ini.
Tulisanku kali ini temanya nggak jauh dari artikel sebelumnya tentang keresahan oranglain atas apa yang kita lakukan. It’s always never enough, maksudnya apa yang kita lakukan atau apa yang sudah kita perbuat itu enggak pernah memuaskan oranglain. Dan itu kayak mustahil gitulo. Kita udah berbuat baik pun tetap nggak bisa bikin mereka okay. “Eh biarin aja lagi” “Nggak perlu dipikirin lah” “Udahlah santuy aja” “…” Beberapa kalimat di atas adalah respon ketika kita mulai sambat dengan ketoxic-an itu. Entah sambat sama saudara atau sama teman. Kayak guampang banget gitu ya. Tapi apakah benar mereka juga menerapkannya? Sebagian orang memang punya mental sekuat baja yang gak ngaruh ketika dikatain atau dikomentarin tentang kehidupannya. Pasalnya, keberadaan orang sekuat itu jarang ditemui bahkan mungkin bisa invisible. Orang yang gak ngaruh pas dikatain, mereka hebat dalam ngefilter apa yang harus dipikirkan dan tidak. Aku pernah berpikir dalam-dalam, kenapa orang mesti menuntut dan mengomentari kehidupan oranglain. Seolah-olah kehidupan mereka 100% sempurna. Apakah ini bisa menjadi bentuk komplain terhadap kehidupannya sendiri yang dilampiaskan dengan ngomentarin keburukan oranglain? Dengan menulis seperti ini bukan berarti aku nggak terbuka sama setiap saran dan kritik. Cuma siapa sih yang mau dikasih kritik yang sama sekali nggak membangun? Atau malah bikin terpuruk gitu coy? Kadang perlu juga belajar tentang menata bahasa demi menyuarakan isi hati. Dengan begitu, apapun yang ingin kita sampaikan enggak sampai bikin orang itu terluka. Enggak pernah cukup, kita selalu berada di titik terendah oleh pandangan si judger. Padahal logisnya kita makan nggak ikut mereka, nggak minta duit ke mereka, juga nggak melakukan tindakan kriminal yang merugikan kehidupan mereka seutuhnya. Jadi kenapa gitulo coy? Apakah “kenapa” yang aku tanyakan ini emang nggak ada jawabannya? Ah sudahlah. Jadi, masuk akalnya adalah ketika kita nggak merugikan kehidupan siapapun ya fine aja. Tapi pas kita lagi capek pikiran dan hati dengar itu semua kayak cuapeeeeeek pol gitu. Kalian yang pernah merasakannya oke baik kalian akan memahami kondisi saya saat ini. Haha. Oke cukup sekian artikel yang mengandung unsur curhatan ini saya buat. Mohon maaf kalau tulisan ini nggak relate dengan kalian haha. Kritik dan saran di bawah tetap aku nantikan! Da! Biasanya quarter life crisis dipicu permasalahan finansial, relasi, karier, serta nilai-nilai yang diyakini. – Dikutip dari web Tirto Menginjak usia 25 bagi sebagian orang memang tidak mudah. Di usia ini kita lebih sering menemui pertanyaan “kapan menikah?”. Dulu pas aku masih usia belasan, aku merasa aneh aja ketika ada orang merasa nggak nyaman ditanyai “kapan menikah?”. Dan saat ini aku sudah mengalami sendiri. Sebenernya pertanyaannya nggak salah. Tapi apa ya? Kadang orang itu selain suka nanya, cenderung mengukur. Sebenarnya mereka ingin dijawab apa sih dari pertanyaan itu? Dibandingin sama pengalaman hidupnya? Atau apa nih? Aku pikir sudah punya pacar lebih gampang buat ngejawab pertanyaan itu. Aku pikir, tapi enggak juga. Nggak semua orang bisa siap baik mental ataupun finansial. Sebagian memang nggak mempermasalahkan kedua hal itu. Kalau mau menikah, ya menikah aja. Mau gimana gimananya dipikir belakangan. Ok, aku nggak bilang itu salah. Itu hak dan keputusan mereka. Harusnya wajar aja kalau masih memikirkan kesiapan mental dan finansial dulu. Ada temanku bilang, kalau nunggu siap ya nggak siap siap. Lalu bagaimana dong? Tanyaku. Dia nggak menjawab. Entahlah~ Overthinking banget pas orang mulai memberikan penilaian buruk kepada kita kenapa kita nggak nikah-nikah gitu kan. Merenung di pinggir pantai sambil bayangin kenapa hidup kita nggak semenyenangkan mereka. Kumpul sama teman-teman yang dibahas seputar pernikahan. Jadi kayak orang asing gitu pas terlibat dalam obrolan mereka. Kalian pasti pernah denger istilah Quarter Life Crisis yang dialami ketika usia seperempat abad / 25 tahun. Dalam situasi ini nggak cuma pertanyaan “kapan menikah?” aja yang bikin stress. Tapi juga soal tujuan sebenarnya kita hidup itu apa. Ok mungkin sebagian besar orang berkeinginan untuk berkehidupan layak secara finansial alias punya kerjaan tetap dan cita-cita menjadi kenyataan. Anggap aja tujuannya itu. Tapi, ketika menginjak usia 25 dan tiba-tiba ada wabah corona seperti saat ini yang bikin kita dirumahkan atau nggak punya kerjaan lagi malah membuat impian-impian itu makin jauh. Yang makin dekat malah stresnya. Belum lagi tuntutan orang sekitar yang sama sekali nggak ngerti hati terdalam kita. Di sini finansial kita terombang-ambing. Apakah di situasi seperti ini kita harus mikirin menikah dahulu? Rasanya ingin terjun ke jurang. Usia 25-an ini memang bikin bingung ketika apa yang kita inginkan nggak sesuai dengan apa yang kita lakukan sekarang. Jadi mikir dulu ngapain aja ya. Kerjaan begini-begini aja dari dulu, nggak ada perubahan. Mulai banding-bandingin, merasa cemas, khawatir, overthinking bahkan insecure. Jumlah teman juga mungkin nggak sebanyak dulu. Semakin sedikit teman yang benar-benar nyambung atau sepahaman sama kita. Dikutip dari Web Tirto, Caroline Beaton menyatakan QLC bisa menjadi pengingat bagi seseorang untuk terus berjuang maju dalam hidupnya. QLC adalah tentang ketidakpastian, dan dari situ pula, seseorang dapat menangkap bahwa tidak ada hal yang permanen di dunia ini, termasuk krisis yang dialaminya sendiri. Terkadang, QLC membuat orang ingin terus berlari atau melawan. Namun, semakin jauh atau cepat orang berlari demi keluar dari krisis tersebut, bisa semakin nihil hasilnya. Formulanya sederhana: mustahil seseorang melulu mendapatkan hal yang dimau. Pernah nggak kalian merasa risih atau nggak nyaman sama orang yang menuntut kalian supaya memuaskan harapan mereka? Sebagian orang mungkin baik-baik saja ketika diperlakukan seperti itu dengan maksud positif / tanda perhatian atau saran yang baik. Sebagiannya lagi, mungkin akan merasa risih atau nggak nyaman. Contohnya aja nih, Dita lulusan sarjana tapi sampai tiga bulan ia lulus belum keterima kerja, kemudian Adi umurnya sudah 30 tahun belum juga nemuin seorang kekasih, atau Tasya menikah di usia 20 tahun dan belum bekerja. Si Dita dikatain “ngapain sekolah tinggi-tinggi akhirnya Cuma jadi pengangguran, mending nggak sekolah aja. Paling-paling habis gini ya kawin” , Si Adi pun dikatain “ Sudah waktunya kawin tapi kok ya belum kawin-kawin, jadi orang jangan pilih-pilih nanti malah nggak dapet-dapet. Mending cari yang seadanya aja, yang sederhana”, dan juga Tasya “Tasya ini belum kerja eh main kawin aja, harusnya tuh diumur segitu masih kuliah atau kerja cari duit”.
Orang julid nggak butuh konfirmasi, dia nggak tahu kondisi sebenarnya yang terjadi sama Dita, Adi dan Tasya. Gelar Sarjana Dita nggak salah, nggak salah buat cari ilmu terus dapet gelar, nggak dapet kerja udah tiga bulan setelah lulus mungkin karena usaha Dita kurang maksimal, udah gitu aja. Adi, usia 30 tahun mungkin bagi sebagian orang emang udah saatnya menikah, tapi Adi nggak salah kok masih single, mungkin saja dia lagi siapin dana untuk biaya menikah dan beli rumah, who knows?. Tasya nikah muda dan nggak kerja, menikah emang hak siapapun dan selagi keluarga Tasya dan suaminya fine-fine aja menerima keadaan Tasya ya why not?. Sebenarnya orang-orang julid seperti itu nggak bisa dimusnahin, tapi kitanya yang harus bisa kontrol pikiran dan menyadari kalau kita nggak bisa mengubah perasaan, anggapan, asumsi bahkan harapan mereka. Emang kesel dah kalau sampai dijulid-in sama orang yang kurang mencintai dirinya sendiri. Terlalu pengen kontrol hidup orang. Bahkan kalau kita udah cukup baik-baik saja, pasti nemu aja tuh celahnya. Apa yang kita lakukan, apapun yang udah kita capai dengan susah payah tetep aja mereka nggak bakal puas menilai hidup kita yang konon katanya harus sesuai harapan mereka. Nggak tau lagi dah harapan mereka yang bentuknya kayak gimana. Sebab kalau harapan mereka jelas dan baik untuk kita, pasti kita seneng nerimanya. Dan saat mereka julid-in orang, mereka nggak sadar bagaimana kondisi dirinya sendiri karena saking asyiknya ngurusin hidup oranglain. Mungkin kalian pernah dengar “Jangan pernah dengarkan kata oranglain”, kata-kata ini maksudnya bukan berarti kita nggak butuh saran dari oranglain tapi lebih ke perkataan kaum julid yang menimpa Dita, Adi dan Tasya di atas. Orang-orang seperti ini bikin kita tambah menutup diri. Lingkungan yang banyak orang toxic kayak gini emang bikin kita nggak berkembang. Tapi bukan berarti kita harus ngejauhin mereka, kita harus banyak melatih diri untuk sadar bahwa kita nggak bisa mengubah apapun yang oranglain pikirkan tentang kita. Yang terpenting adalah fokus kepada diri sendiri dan jadilah berarti. Menjalani bulan Ramadhan cukup berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Biasanya bisa berbuka bareng keluarga atau teman-teman sekarang sulit banget bahkan ditiadakan. Bagi kita yang masih serumah dengan keluarga mungkin nggak kerasa, tapi bagi teman-teman yang merantau dari desa nggak bisa ketemu keluarganya untuk sementara waktu. Apalagi ada hal yang tak mengenakkan terjadi akibat wabah ini : di-PHK, dirumahkan, tempat usaha sepi nyaris tutup hingga waktu yang belum ditentukan. Iya oke bagi beberapa orang mungkin sudah menyiapkan dana darurat untuk digunakan pada situasi ini, iya oke bagi beberapa orang mungkin bisa hidup sampe setaon-duataon ke depan tanpa bingung, iya oke meski usaha tutup masih ada usaha lain yang jalan, tapi ada juga yang kesehariannya cuma bergantung pada satu pekerjaan. Hingga ketika dirumahkan, sudah bingung gimana menghidupi keluarga atau buat biaya sehari-hari. Pernah kemarin, pulang kerja aku sempat mengamati resto-resto kafe-kafe mulai sepi dan para ojol buanyak banget di pinggir jalan nunggu orderan datang. Ada yang motornya dijagang, terus bapak ojolnya duduk sandaran di pinggir jalan. Ada juga nenek-nenek dorong gerobak dagangan pisangnya yang masih banyak. Ada bapak-bapak jualan donat yang nungguin pembeli sampe pindah-pindah tempatnya aku hafal. Hari Senin aku pulang kerja ada di daerah Mojo, terus besoknya ada di Manyar. Besoknya di Dharmahusada. Mungkin dari kita bisa membantu beli barang dagangannya atau ikutan donasi sembako untuk dibagikan ke warga kurang mampu. Setidaknya membantu meringankan lah ya.
Mashaa Allah, sampe baca artikel katanya berkaitan dengan teori konspirasi yang mana wabah ini disebabkan oleh kaum elit-lah, apalah. Gimana ya, awalnya emang bikin galau, kok bisa sih? Tapi sampe sini aku tetep berpikir santuy dan mencoba tenang. Ada berita yang infoin wabah ini selesai awal juni apa juli gitu lupa. Sekarang masih akhir April. Butuh waktu sebulan-dua bulan. Sedangkan selama waktu itu pemasukan sedikit banget bahkan nggak ada. Nyari kerja apa ya ada yang butuh pegawai saat seperti ini. Cari pinjaman juga sulit karena kanan kiri pada krisis juga. Nah mulai overthinkingnya. Kalau buat aku Inshaa Allah masih cukup bertahan dalam kurun waktu tersebut. Tapi nggak tega gitu kan ngelihat orang-orang yang buat makan sampe minggu depan belum tahu bisa apa enggak. Bagi aku, bagi kamu dan bagi kalian yang tenang ya. Perbanyak berdoa, tetap bersyukur, tetap berpikiran baik, berusaha tenang walau sulit dan better things are coming. Masyarakat Indonesia belakangan ini dibuat resah oleh menyebarnya virus korona / COVID-19. Penyebarannya pun terbilang sangatlah cepat. Seperti yang pernah diberitakan sebelumnya, awal Maret saya mendengar bahwa korban virus ini sudah mencapai 2 orang. Pada saat itu saya masih tenang dan mencoba mengikuti perkembangan beritanya. Apakah 2 orang tersebut bisa sembuh, bagaimana virus ini bisa tertular dan obatnya apa blabla.. Kemudian beberapa hari, terdengar lagi bahwa korban virus ini bertambah lagi 2 orang. Saya nggak ngerti spesifiknya berasal darimana, yang pasti setelah nambah begini saya merasa tidak aman dan cukup bingung. Hingga sampai saat ini, jumlah korban virus ini mencapai ratusan. Lah, kan jadi tambah gusar. Pasalnya, saya mendengar beberapa berita virus ini juga bisa tidak menunjukkan gejala apapun. What???. Saya lupa sumbernya dari mana, yang pasti ini orang yang terkena virus kondisinya baik-baik saja dan dinyatakan positif. Nah loh gua tambah melongo. Himbauan untuk #dirumahaja menggaung di mana-mana. Yang pasti saya mematuhi itu (di hari minggu saja karena senin-sabtu masih bekerja di luar rumah), tapi saya juga sering banget kepikiran sama oranglain/ anggota keluarga yang terpaksa harus bekerja keluar rumah. Para ojol yang harus stay di luar rumah demi mencari uang, apalagi para petugas medis yang memeriksa banyak pasien. Bisa dibilang saya overthinking nih ya, haha.. Tapi semuanya ya diserahin aja sama Allah. Kita berdoa yang cukup, dan selalu menjaga kesehatan dan kebersihan baik diri maupun sekitar. Juga yang bikin saya sedih itu ketika baca story Instagram yang nginfoin kalau petugas medis kekurangan alat medis contohnya aja kayak masker yang diberitain kalau sehari cuma ganti sekali doang, terus pakai jas hujan, nggak boleh makan, minum, pipis atau mandi. Terlepas dari berita itu benar atau tidak, hal ini membuat saya berpikir kalau himbauan #dirumahaja itu sangaaaaaat penting. Sebab jika kita tertular atau sakit misalnya, kita pasti menambah jumlah pasien yang mereka tangani. Ya intinya pada hati-hati dan waspada bagi yang masih beraktifitas di luar rumah. Dan jangan ngeyel setiap ada info-info mengenai menjaga kebersihan atau kesehatan. Ingat, OJOK NGEYEL. Himbauan #dirumahaja sebenarnya dampaknya mulai kerasa nih gaes, pasalnya saya yang bekerja di salah satu Perusahaan F&B mengalami penurunan penjualan yang sangat berarti Hiks..hiks.. Maka dari itu, beberapa promo menarik pun digencatkan. Para owner gelisah dibuatnya. Dan saya yakin bukan di bidang ini saja yang mengalami penurunan, mungkin di bidang yang lain mengalami penurunan yang serupa. “Tetapi kita percaya bahwa musim semi pasti akan datang setelah musim dingin, bencana pasti akan dipulihkan, diperbarui dan juga seperti halnya hati kita yang terluka akan sembuh, kita akan bangkit berdiri lagi.” – dikutip dari postingan my love @choisiwon di Instagramnya. Stay safe ya, jangan lupa perbanyak doa agar tidak terlalu resah. |
|