Ketika kita berada di lingkungan yg tepat, segalanya terasa lebih mudah. Maksudnya lebih mudah buat menjalani hari-hari sesulit apapun tantangannya. Berada di lingkungan keluarga atau teman yang supportif adalah yang kita butuhin, enggak toxic yang dikit² nanyain kamu udah punya apa aja? Kerja tiap hari kok masih miskin? Kamu tiap hari kok Zumba terus? Apa gak sayang duitnya? Harusnya ditabung aja. Tapi realita kadang berkata lain, kita dihadapkan dengan orang-orang yang bisa merusak mental kita.
Contoh aja ketika kerja di lingkungan yg toxic. Dikit² dibicarain, dicari salah²nya kayak kita ini gak ada benernya. Salah terus, energi yang timbul jadi low, gak PD bahkan rendah diri. Apresiasi gak ada demanding teros. Tapi pas kita berada di lingkungan yang sehat atau tepat, kita jadi berharga. Ternyata ada lho sisi layaknya, jadi kayak muncul pikiran ternyata value kita terlihat hanya di tempat yang sesuai dengan kepribadian kita, dengan keunikan kita, dengan orang² yang menghargai proses kita tumbuh. Dengan begitu kita selalu berada di high viberation, selalu termotivasi, auranya jadi enak dan nyaman. Ternyata kita enggak seburuk itu. Cuma tempatnya aja yang yaaa... kurang tepat. Tapi, kondisi tersebut tidak selalu ada setiap saat. Kadang kala ya pas mood lagi gak enak, lebih mudah sensitif, kacau lah. Sebelum itu berlarut-larut, coba dialihkan ke hal² yang kita sukai contoh kalau aku misal nonton sendirian atau lukis² gitu. Setelah agak reda, baru balik ke mood yg gak enak tadi bukan untuk diratapi, tapi untuk introspeksi, janganlah terlalu keras wahai diri yuk santaii meski gak di pantai. Sadari ketidaknyamanan ini adalah bagian dari kehidupan, kesedihan pasti berlalu. Kalau kalian relate, semoga membantu atau share pengalaman kalian di kolom komentar. Terima kasih, sudah mampir.
0 Comments
Bisa jadi kalimat di atas adalah quotes yang tepat untuk kuberikan padanya. Ya, aku tidak lupa di mana momen aku menangis sepanjang perjalanan sampai-sampai maskerku basah. Untung saja saat itu malam, jadi tidak begitu terlihat oleh orang lain. Bisa-bisa dikira habis dihukum naik pohon mangga selama dua hari.
Aku masih mencari-cari fakta di otakku untuk menjelaskan mengapa akhirnya aku harus menangis sesendu ini. Mataku merah dan hidungku tersumbat. Momen seperti ini sangat jarang terjadi dan tumpahlah di momen yang gak aku duga dapet juga. Aku tidak tahu bisa-bisanya semesta membawaku ke mari. Di gedung, di mana aku tak pernah sekali masuk ke sana. Bahkan aku tidak mengenali siapa security-nya. Bisa-bisanya cuma duduk merunduk sambil mendengarkan kata demi kata diiringi lagu, ada sesuatu yang dalaaaaaammm banget muncul ke permukaan. Aku gak tahu kenapa ini terjadi dan yaaa ini di luar kendaliku. Aku hanya bisa mengendalikan kucuran air mata yang terjatuh beserta ingusnya. Mungkin luka yang kupunya tak sedalam luka orang lain. Kekuatan untuk menampungnya juga berbeda. Namun, setiap orang punya cara untuk mengobati lukanya masing-masing. Namun sebagian juga malah kabur, mencari pelarian sementara dan akhirnya membuat lukanya makin parah. Dan apakah bisa disimpulkan bahwa hati yang tertutup tidak mampu mengobati lukanya sendiri? |
|