Seberagam warna senja yang hilang ditelan malam. Ketika suara dentuman awan bertabrakan. Gerimis pun hadir dalam malam yang tidak tenang. Air menggenang di mana-mana. Tidak lain di pelupuk matanya yang menetes malu. Adakah perasaan yang sukar untuk dimengerti pemiliknya ? Demi mengkalimatkan kata demi kata, ia meraih laptop mininya, untuk kemudian menggerakkan jemarinya pada halaman putih. Terserah, malam menggiringnya kepada suasana hatinya yang berkabut atau ke mana.
Ia pun menuliskan kegundahan dengan seluruh kemampuannya. Berbekal rasa percaya, sepenggal kalimatnya berubah menjadi satu paragraf. Ia tidak pernah merasa sekalut itu. Sampai-sampai ia merasa cukup untuk menjadi baik-baik saja seketika tulisannya telah mencapai dua halaman penuh tanpa ketentuan margin sebuah proposal. Entah mengapa, dia resmi menjulukiku sebagai hantu, di setiap tulisannya. Jarum jam menunjuk pukul satu dini hari, dengan bau aroma lavender dari lilin yang dinyalakannya lima belas menit yang lalu ia semakin siap untuk melanjutkan tulisannya. Terkadang, ia menjadi sesosok sentimental. Untuk kemudian ia berkeinginan pergi dari tubuhnya sendiri. Bagaimana bisa? Namun ia tersadar akan kemampuannya bertahan dalam penjara yang ia ciptakan sendiri. Realitas memaksanya meronta dalam diam, mendobraki pintu hingga mematahkan engselnya. Hujan datang membawa nyanyian sendu untuknya, tiada sanggup menahan perasaan ingin murka. Marah tiada arah. Ingatan akan nafas, meditasi paling sederhana yang ia tahu, meluluhlantakkan amarahnya sendiri. Ia pun menutup laptop mininya dengan beristigfar, dadanya ia sentuh sesekali sebelum ia bergegas pergi. Pada akhirnya, ia menyaksikan kesedihannya tertulis.
0 Comments
|
|