Kalian tahu nggak original Soudtrack film The Greatest Show Man yang berjudul Never enough yang dinyanyikan oleh Jenny Lind saat adegan nyanyi di panggung? Dan apa keterkaitannya dengan judul artikel ini? Adalah pas bagian reff "Never enough... never..never.." rasanya cocok banget buat menggambarkan isi dari artikel ini.
Tulisanku kali ini temanya nggak jauh dari artikel sebelumnya tentang keresahan oranglain atas apa yang kita lakukan. It’s always never enough, maksudnya apa yang kita lakukan atau apa yang sudah kita perbuat itu enggak pernah memuaskan oranglain. Dan itu kayak mustahil gitulo. Kita udah berbuat baik pun tetap nggak bisa bikin mereka okay. “Eh biarin aja lagi” “Nggak perlu dipikirin lah” “Udahlah santuy aja” “…” Beberapa kalimat di atas adalah respon ketika kita mulai sambat dengan ketoxic-an itu. Entah sambat sama saudara atau sama teman. Kayak guampang banget gitu ya. Tapi apakah benar mereka juga menerapkannya? Sebagian orang memang punya mental sekuat baja yang gak ngaruh ketika dikatain atau dikomentarin tentang kehidupannya. Pasalnya, keberadaan orang sekuat itu jarang ditemui bahkan mungkin bisa invisible. Orang yang gak ngaruh pas dikatain, mereka hebat dalam ngefilter apa yang harus dipikirkan dan tidak. Aku pernah berpikir dalam-dalam, kenapa orang mesti menuntut dan mengomentari kehidupan oranglain. Seolah-olah kehidupan mereka 100% sempurna. Apakah ini bisa menjadi bentuk komplain terhadap kehidupannya sendiri yang dilampiaskan dengan ngomentarin keburukan oranglain? Dengan menulis seperti ini bukan berarti aku nggak terbuka sama setiap saran dan kritik. Cuma siapa sih yang mau dikasih kritik yang sama sekali nggak membangun? Atau malah bikin terpuruk gitu coy? Kadang perlu juga belajar tentang menata bahasa demi menyuarakan isi hati. Dengan begitu, apapun yang ingin kita sampaikan enggak sampai bikin orang itu terluka. Enggak pernah cukup, kita selalu berada di titik terendah oleh pandangan si judger. Padahal logisnya kita makan nggak ikut mereka, nggak minta duit ke mereka, juga nggak melakukan tindakan kriminal yang merugikan kehidupan mereka seutuhnya. Jadi kenapa gitulo coy? Apakah “kenapa” yang aku tanyakan ini emang nggak ada jawabannya? Ah sudahlah. Jadi, masuk akalnya adalah ketika kita nggak merugikan kehidupan siapapun ya fine aja. Tapi pas kita lagi capek pikiran dan hati dengar itu semua kayak cuapeeeeeek pol gitu. Kalian yang pernah merasakannya oke baik kalian akan memahami kondisi saya saat ini. Haha. Oke cukup sekian artikel yang mengandung unsur curhatan ini saya buat. Mohon maaf kalau tulisan ini nggak relate dengan kalian haha. Kritik dan saran di bawah tetap aku nantikan! Da!
0 Comments
Biasanya quarter life crisis dipicu permasalahan finansial, relasi, karier, serta nilai-nilai yang diyakini. – Dikutip dari web Tirto Menginjak usia 25 bagi sebagian orang memang tidak mudah. Di usia ini kita lebih sering menemui pertanyaan “kapan menikah?”. Dulu pas aku masih usia belasan, aku merasa aneh aja ketika ada orang merasa nggak nyaman ditanyai “kapan menikah?”. Dan saat ini aku sudah mengalami sendiri. Sebenernya pertanyaannya nggak salah. Tapi apa ya? Kadang orang itu selain suka nanya, cenderung mengukur. Sebenarnya mereka ingin dijawab apa sih dari pertanyaan itu? Dibandingin sama pengalaman hidupnya? Atau apa nih? Aku pikir sudah punya pacar lebih gampang buat ngejawab pertanyaan itu. Aku pikir, tapi enggak juga. Nggak semua orang bisa siap baik mental ataupun finansial. Sebagian memang nggak mempermasalahkan kedua hal itu. Kalau mau menikah, ya menikah aja. Mau gimana gimananya dipikir belakangan. Ok, aku nggak bilang itu salah. Itu hak dan keputusan mereka. Harusnya wajar aja kalau masih memikirkan kesiapan mental dan finansial dulu. Ada temanku bilang, kalau nunggu siap ya nggak siap siap. Lalu bagaimana dong? Tanyaku. Dia nggak menjawab. Entahlah~ Overthinking banget pas orang mulai memberikan penilaian buruk kepada kita kenapa kita nggak nikah-nikah gitu kan. Merenung di pinggir pantai sambil bayangin kenapa hidup kita nggak semenyenangkan mereka. Kumpul sama teman-teman yang dibahas seputar pernikahan. Jadi kayak orang asing gitu pas terlibat dalam obrolan mereka. Kalian pasti pernah denger istilah Quarter Life Crisis yang dialami ketika usia seperempat abad / 25 tahun. Dalam situasi ini nggak cuma pertanyaan “kapan menikah?” aja yang bikin stress. Tapi juga soal tujuan sebenarnya kita hidup itu apa. Ok mungkin sebagian besar orang berkeinginan untuk berkehidupan layak secara finansial alias punya kerjaan tetap dan cita-cita menjadi kenyataan. Anggap aja tujuannya itu. Tapi, ketika menginjak usia 25 dan tiba-tiba ada wabah corona seperti saat ini yang bikin kita dirumahkan atau nggak punya kerjaan lagi malah membuat impian-impian itu makin jauh. Yang makin dekat malah stresnya. Belum lagi tuntutan orang sekitar yang sama sekali nggak ngerti hati terdalam kita. Di sini finansial kita terombang-ambing. Apakah di situasi seperti ini kita harus mikirin menikah dahulu? Rasanya ingin terjun ke jurang. Usia 25-an ini memang bikin bingung ketika apa yang kita inginkan nggak sesuai dengan apa yang kita lakukan sekarang. Jadi mikir dulu ngapain aja ya. Kerjaan begini-begini aja dari dulu, nggak ada perubahan. Mulai banding-bandingin, merasa cemas, khawatir, overthinking bahkan insecure. Jumlah teman juga mungkin nggak sebanyak dulu. Semakin sedikit teman yang benar-benar nyambung atau sepahaman sama kita. Dikutip dari Web Tirto, Caroline Beaton menyatakan QLC bisa menjadi pengingat bagi seseorang untuk terus berjuang maju dalam hidupnya. QLC adalah tentang ketidakpastian, dan dari situ pula, seseorang dapat menangkap bahwa tidak ada hal yang permanen di dunia ini, termasuk krisis yang dialaminya sendiri. Terkadang, QLC membuat orang ingin terus berlari atau melawan. Namun, semakin jauh atau cepat orang berlari demi keluar dari krisis tersebut, bisa semakin nihil hasilnya. Formulanya sederhana: mustahil seseorang melulu mendapatkan hal yang dimau. |
|