Biasanya quarter life crisis dipicu permasalahan finansial, relasi, karier, serta nilai-nilai yang diyakini. – Dikutip dari web Tirto Menginjak usia 25 bagi sebagian orang memang tidak mudah. Di usia ini kita lebih sering menemui pertanyaan “kapan menikah?”. Dulu pas aku masih usia belasan, aku merasa aneh aja ketika ada orang merasa nggak nyaman ditanyai “kapan menikah?”. Dan saat ini aku sudah mengalami sendiri. Sebenernya pertanyaannya nggak salah. Tapi apa ya? Kadang orang itu selain suka nanya, cenderung mengukur. Sebenarnya mereka ingin dijawab apa sih dari pertanyaan itu? Dibandingin sama pengalaman hidupnya? Atau apa nih? Aku pikir sudah punya pacar lebih gampang buat ngejawab pertanyaan itu. Aku pikir, tapi enggak juga. Nggak semua orang bisa siap baik mental ataupun finansial. Sebagian memang nggak mempermasalahkan kedua hal itu. Kalau mau menikah, ya menikah aja. Mau gimana gimananya dipikir belakangan. Ok, aku nggak bilang itu salah. Itu hak dan keputusan mereka. Harusnya wajar aja kalau masih memikirkan kesiapan mental dan finansial dulu. Ada temanku bilang, kalau nunggu siap ya nggak siap siap. Lalu bagaimana dong? Tanyaku. Dia nggak menjawab. Entahlah~ Overthinking banget pas orang mulai memberikan penilaian buruk kepada kita kenapa kita nggak nikah-nikah gitu kan. Merenung di pinggir pantai sambil bayangin kenapa hidup kita nggak semenyenangkan mereka. Kumpul sama teman-teman yang dibahas seputar pernikahan. Jadi kayak orang asing gitu pas terlibat dalam obrolan mereka. Kalian pasti pernah denger istilah Quarter Life Crisis yang dialami ketika usia seperempat abad / 25 tahun. Dalam situasi ini nggak cuma pertanyaan “kapan menikah?” aja yang bikin stress. Tapi juga soal tujuan sebenarnya kita hidup itu apa. Ok mungkin sebagian besar orang berkeinginan untuk berkehidupan layak secara finansial alias punya kerjaan tetap dan cita-cita menjadi kenyataan. Anggap aja tujuannya itu. Tapi, ketika menginjak usia 25 dan tiba-tiba ada wabah corona seperti saat ini yang bikin kita dirumahkan atau nggak punya kerjaan lagi malah membuat impian-impian itu makin jauh. Yang makin dekat malah stresnya. Belum lagi tuntutan orang sekitar yang sama sekali nggak ngerti hati terdalam kita. Di sini finansial kita terombang-ambing. Apakah di situasi seperti ini kita harus mikirin menikah dahulu? Rasanya ingin terjun ke jurang. Usia 25-an ini memang bikin bingung ketika apa yang kita inginkan nggak sesuai dengan apa yang kita lakukan sekarang. Jadi mikir dulu ngapain aja ya. Kerjaan begini-begini aja dari dulu, nggak ada perubahan. Mulai banding-bandingin, merasa cemas, khawatir, overthinking bahkan insecure. Jumlah teman juga mungkin nggak sebanyak dulu. Semakin sedikit teman yang benar-benar nyambung atau sepahaman sama kita. Dikutip dari Web Tirto, Caroline Beaton menyatakan QLC bisa menjadi pengingat bagi seseorang untuk terus berjuang maju dalam hidupnya. QLC adalah tentang ketidakpastian, dan dari situ pula, seseorang dapat menangkap bahwa tidak ada hal yang permanen di dunia ini, termasuk krisis yang dialaminya sendiri. Terkadang, QLC membuat orang ingin terus berlari atau melawan. Namun, semakin jauh atau cepat orang berlari demi keluar dari krisis tersebut, bisa semakin nihil hasilnya. Formulanya sederhana: mustahil seseorang melulu mendapatkan hal yang dimau.
0 Comments
Leave a Reply. |
|