Keretaku tiba sejam yang lalu untuk kuhabiskan duduk tidak bertenaga di stasiun sambil mengambil gambar dari kamera saku. Aku menibakan diri di kota ini untuk yang kedua kali. Aku pergi ke kota ini hanya untuk lupa. Siapa kira manusia setengah gila ini sedang mencari-cari ketiadaan di kota lain tanpa seorang teman. Aku mengubah nomor ponselku dengan yang baru selama berada di sini. Untuk kuberitahu kepada Ibuku seorang. Tidak ada yang harus kuhubungi selain ibuku.
Aku membuka to do list yang kubuat sejak masih di Surabaya. Yang pertama aku akan mencari tempat kost yang hanya diperuntukkan bagi laki-laki. Kedua, aku akan mencari pekerjaan yang kiranya jauh dari keahlianku. Ketiga, aku harus sering puasa dan memberikan sarapanku kepada tukang becak seberang jalan atau orang yang lebih membutuhkan. Meski anak ragil, aku tidak suka bermanja atau bermalas-malasan dengan masa mudaku. Almarhum Bapak pernah mengatakan bahwa jadi anak laki-laki itu harus kuat dan bisa diandalkan, meski Ibu selalu dan pasti, mengurusiku dalam hal apapun. Padahal anak ragilnya ini sudah dua puluh sembilan tahun. Kedua kakak-kakakku sudah berbahagia dengan yang dicinta dan hidup di kota lain pula. Mengunjungi rumah hanya sekitar liburan atau hanya lewat sambungan teknologi. Meski begitu, Ibu tidak pernah kesepian. Ibu tinggal bersama kedua anak angkat yang ia pungut dari panti asuhan lima belas tahun yang lalu. Mereka seperti adik-adikku. Tujuanku yang paling serius untuk melakukan pindah kota ini adalah untuk melupakan sesuatu. Padahal melupakan sesuatu dengan sengaja itu kemungkinan besar gagal. Tapi, aku ingin mencoba, siapa tahu sepulang dari sini aku tidak dibebani pikiran apalagi perasaan susah walau cuma dalam hati. Semoga suatu saat akan terjadi. Di kota ini aku sangat baru, sering tersesat dan sengaja tidak menghubungkan diri dengan internet. Aku harus banyak berinteraksi dengan banyak orang baru dan mungkin saja dari sana akan kutemui jalan. Selang tiga hari kemudian. Aku menemukan pekerjaan baruku, aku menjadi tukang cukur rambut di barber shop. Sama sekali tidak pernah sebelumnya aku mengatasi pelanggan datang untuk meminta rambutnya dicat merah atau meminta digunduli. Aku mendapatkan pelatihan khusus oleh teman kerjaku yang sudah lima tahun mengabdi di sini. Hingga akhirnya, hari ke empat aku sudah merasa percaya diri walau cuman nyukur kumis. Ibuku sudah menjadi diariku setiap malam, ia terkekeh mendengar anak ragilnya jadi tukang cukur. Beliau tidak melarangku untuk menjadi apa saja, selama aku senang, tiada yang melarang. Ibuku adalah satu-satunya orang yang paling aku percayai, walau usiaku tak lagi muda, aku suka curhat ataupun sesekali minta disuapi ketika makan. Semakin sibuk seseorang pasti mampu menyisihkan waktunya untuk orang yang dicintai. Setiap pulang bekerja, aku mampir ke supermarket. Mencari kubis, wortel, selada, brokoli, ayam potong dan bumbu masak lainnya. Untuk jatah memasak dua hari ke depan. Dan tak lupa kutitipkan di lemari es milik ibu kost. Aku tidak hobi memasak, lebih tepatnya hobiku adalah memperhatikan Siwi kakakku ketika memasak di rumah. Karena suka bertanya-tanya kenapa capcay bikinnya begini begitu akhirnya ia mengajariku dan berhasil, aku bisa bikin capcay sendiri meski Ibu bilang capcaynya hambar kurang garam, karena aku tidak begitu menyukai asin hingga komposisi garam aku tiadakan. Karena yang kubisa hanya capcay, akan kubiarkan perutku ini mengonsumsi capcay selama dua hari. Untuk selanjutnya, aku akan mampir ke warung kaki lima untuk membeli sayur asam atau nasi goreng. Dan membedahnya di rumah, mencari tahu apa komposisi dari makanan-makanan tersebut. Jika kesulitan, mari ketuk pintu ibu kost. Hari pun berlalu tanpa pernah kuhitung-hitung. Selama di kota ini, aku banyak menemukan hal baru. Namun waktuku tersisa dua hari saja untuk di sini. Aku sudah membeli tiket keretaku bebarengan dengan tiket berangkat. Kontak ponselku sudah mencapai tiga belas termasuk Ibu. Itu berarti aku berhasil menemukan teman baru di kota ini. Dan setiap malam, meski masih terasa akan hal-hal yang menjadi tujuanku datang di kota ini, aku selalu pergi dari satu tempat ke tempat lain meski berakhir dengan masuk angin. Setiap jatah libur sehari, aku selalu berjalan kaki hingga kebingungan mencari jalan untuk kembali. Menikmati diri yang tersesat. Hingga tepat di hari H waktunya aku harus kembali ke Surabaya. Berpamitan kepada mereka yang berhasil mengisi aku. Seperti pulang kampung, tanganku penuh dengan oleh-oleh. Aku meminta difoto sebentar, untuk kemudian kulambaikan tangan dari pintu kereta kepada mereka. Selamat tinggal yang dijeda. Aku akan hadir kembali nanti. Tak perlu cemas. Setibanya di Surabaya. Ada penamapakan yang tidak kuinginkan setelah turun dari kereta. Mendadak aku kembali tak yakin.
0 Comments
|
|